Selasa, 10 Juni 2008

Belajar Bersyukur

[My Way Home] - Beberapa waktu yang lalu suamiku membelikanku makanan di Jurong Point. Yang pertama kwetiau goreng -- makanan favorit pertamaku di pulau kecil ini. Yang kedua daging sapi dengan bumbu mentega, entah apa namanya. Aku mengenal kwetiau goreng ini dari temanku yang pernah lama tinggal di Singapura. Sebelumnya lidahku sulit untuk mentolerir rasa masakan di kandang singa, hingga satu sendok icip-icip yang kemudian menyebabkan aku jatuh hati pada si kwetiau goreng ini. Padahal kalau kata suamiku sih, rasanya biasa saja. Dengan cepat si kwetiau goreng pun habis dalam dua kali makan -- siang dan sore. Porsi makanan di sini memang terlalu banyak untuk lambungku yang sepertinya memang ukurannya kalah jauh dibandingkan orang lokal. Tapi karena aku makannya berbagi dengan Eka (via ASI), aku jadi cepat lapar dan sering makan dengan porsi yang tidak terlalu besar.Dulu waktu masih di Bandung, aku sering membeli sapi goreng mentega di Mulya Cirebon Chinese Food (MCCF). Porsinya cukup banyak sehingga biasanya aku berbagi dengan temanku yang kebetulan porsi makannya tidak beda jauh denganku. Sapi goreng menteganya MCCF kuat di rasa manisnya. Aku sudah lupa apakah dari pertama aku suka rasanya atau tidak, tapi yang jelas menurutku rasanya bisa dibilang cocok di lidahku. Karena sudah terdoktrin dengan rasa sapi goreng menteganya MCCF, kukira daging sapi bumbu mentega yang dibelikan oleh suamiku rasanya manis juga. Ternyata tidak, sehingga aku tidak bisa menikmatinya ketika pertama kali mencicipinya. Karena porsinya banyak juga, aku sisakan sebagian lainnya untuk kumakan esok hari. Keesokan harinya aku makan daging sapi bumbu mentega tersebut setelah kupanasi dengan microwave oven. Aku sudah tahu kalau rasanya tidak manis, jadi aku tidak berharap lagi rasanya manis. Entah mengapa, apakah karena aku lapar atau memang seleraku jadi berubah, kali ini kurasakan si sapi mentega menjadi lebih enak daripada kemarin. Mungkin juga karena harapanku sudah kuubah setelah aku merasakan sapi mentega ini kemarin.Lha terus apa hubungannya dengan bersyukur?Setelah kupikir-pikir, bagaimana si sapi mentega ini kemudian menjadi enak di lidahku itu seperti kalau kita bersyukur. Misalnya kita mengalami kejadian yang kita anggap tidak baik. Setelah kita pikir dan renungkan kembali, ternyata kejadian itu adalah hal yang terbaik bagi kita. Karena Allah tahu itu baik buat kita, maka kejadian itulah yang dihadapkan kepada kita. Pada saat kita bisa mengambil hikmah itulah kita ada dalam posisi bersyukur. Sebagaimana pada saat itulah otakku sudah bisa menerima rasa si sapi mentega Jurong Point.Bagaimana kalau kita tidak bersyukur?Selamanya kita akan menganggap bahwa kejadian itu tidak baik buat kita. Kita akan selalu kecewa dan mengingatnya sebagai hal yang buruk. Terus apa untungnya? Tidak ada untungnya kalau kita tidak bersyukur. Si sapi mentega akan selamanya terasa tidak enak.Jadi pilih mana? Ya pilih yang untung lah... :DDari si sapi mentega ini aku mendapatkan bahwa kita bisa bersyukur dengan cara mengubah harapan kita. Kalau aku tetap berharap si sapi mentega ini berasa manis, tentu aku tidak akan bisa merasakan enaknya si sapi mentega ini keesokan harinya. Tapi karena aku sudah menerima bahwa si sapi mentega ini tidak berasa manis, maka aku bisa merasakan bagaimana si koki meramu bumbu sapi mentega dengan pas. Tidak terlalu asin, tidak pula hambar.Terus, ngelamunnya berkelanjutan nih, ceritanya...Jadi inget tentang keterpakaian perangkat lunak alias software usability yang sangat bergantung pada tabiat si pemakai. Kalau si pemakai ini belum pernah mencicipi alat bantu bernama sapi mentega, mungkin dia akan senang-senang saja melahap si sapi mentega ini dan akhirnya terdoktrin bahwa yang bernama sapi mentega tampangnya harus seperti itu, asinnya sekian, manisnya sekian, kalo ditelan akan demikian. Akan repot kalau dia sudah pernah mencicipi sapi mentega produksi lain. Mungkin pertama kali dia akan merasa kagok dengan rasa si sapi mentega karena dia berharap kadar keasinan dan kemanisannya berbeda dengan yang diberikan. Kalau si pemakai ini orang yang mudah bersyukur, mungkin dia akan kemudian mudah menerima rasa sapi mentega yang lain dari yang biasa dia lahap. Kalau si pemakai ini tidak mau bersyukur dan tetap mengharapkan rasa sapi mentega hasil produksi pabrik anu, kasian deh yang udah capek-capek bikin... :D Tapi apa iya, untuk bisa menghasilkan sapi mentega yang enak kita harus menanyakan rasa yang diharapkan ke setiap calon pelahap? Jangan-jangan malah kacau rasanya nanti. Yang penting adalah pelahap berkualitas seperti juri di lomba-lomba masak yang entah bagaimana dapatnya. Bagaimana dengan 'mendidik calon pemakai menjadi orang yang lebih bersyukur'? Hmmm, sepertinya mengikutkan calon pemakai dalam program peningkatan ESQ bisa berguna. Ada yang pernah mencoba?Ah sudahlah, daripada mikir gak jelas, mending ngeliatin Eka lagi bobok nyenyak. :)