Kenapa, tetap memberi meski dalam kondisi sempit, berusaha menanamkan kebahagiaan untuk orang lain meski dalam kondisi sulit, memberi manfaat pada orang lain meski dalam keadaan memerlukan, selalu melahirkan kenikmatan dalam diri orang yang melakukannya?


Saudaraku,
Pernahkah kita merasakan bagaimana nikmatnya menyisihkan uang untuk berinfaq dan membahagiakan orang lain, dalam kondisi kita juga memerlukannya? Bagaimana indah dan damainya hati saat kita memeras tenaga, menguras pikiran, mengeluarkan apa yang kita punya, untuk kegiatan dakwah ilallah? Bagaimana sejuknya hati, dikala kita bisa memberi sesuatu yang berharga, yang kita miliki, untuk membahagiakan orang lain?

Memberi, secara lahir adalah mengeluarkan sesuatu untuk orang lain yang berarti juga mengurangi sesuatu yang kita miliki. Tapi secara maknawi, memberi sesuatu kepada orang lain itu sama dengan memunculkan ketenangan batin, kenikmatan dan kecerahan tersendiri bagi yang melakukannya. Kandungan makna inilah yang banyak dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para salafushalih. Anas ra pernah mengatakan bahwa Rasulullah adalah orang yang tidak pernah diminta sesuatu, kecuali ia pasti memberi.

Saudaraku,
Para salafushalih bahkan lebih menginginkan kesulitan dalam berkorban dan memberi untuk orang lain tidak terganggu dengan pemberian dan imbalan.

Imam Al Auzai menolak pemberian murid-muridnya yang ingin belajar hadits darinya. "Kalian boleh memilih. Jika kalian ingin hadiah ini aku terima, aku tidak akan mengajarkan hadits pada kalian. Jika kalian ingin belajar hadits dariku, maka hadiah ini tidak aku terima," katanya.

Ulama lainnya, Isa bin Yunis, mengeluarkan kata-kata yang lebih tegas lagi dalam hal yang sama. Ia mengatakan, "Tidak ada makanan dan minuman yang aku terima untuk menyampaikan hadits Rasulullah SAW. Meskipun kalian memenuhi masjid ini dengan emas seluruhnya." Itu dikatakan Isa bin Yunis kepada penguasa yang ingin memberinya hadiah.

Apa rahasia di balik penolakan itu? Mereka, pasti lebih ingin merasakan nikmatnya berkorban, indahnya memberi, kelezatan lelah dan sejuknya hati saat bersusah payah, dalam memberi manfaat banyak orang demi meraih keridhaan Allah SWT.

Berkorban itu nikmat saudaraku,
Seperti pengorbanan total yang telah ditunjukkan oleh Syaikhul Intifadhah, Syaikh Ahmad Yasin - semoga Allah SWT menempatkannya dalam jannah-Nya. Bagaimana dengan tubuhnya yang lumpuh, ia tetap memimpin pergerakan dakwah dan perlawanan untuk membebaskan Palestina dan melindungi kiblat pertama Masjidil Aqsha yang dirampas oleh Israel. Bagaimana dalam kondisi mata yang sulit melihat, tapi mata hati dan pikirannya tidak pernah terlepas dari memperhatikan langkah perjuangan umat Islam melawan penjajah Zionis Israel.

Bagaimana dalam kondisi yang renta, keluar masuk penjara, tapi semangatnya terus berkobar dengan keberanian yang sulit ditandingi. Ia terus menerus menyongsong bahaya kematian yang mengancamnya setiap detik. Bagaimana ia yang selalu berada di atas kursi roda, tapi tetap berangkat ke masjid di waktu fajar untuk menunaikan sholat subuh berjamaah. Dan beliau mendapatkan syahidnya dirudal oleh Israel sepulangnya dari sholat shubuh. Tidak semua orang bisa bangun sebelum fajar, dan tidak semua orang yang bangun sebelum fajar punya keinginan untuk sholat di masjid walaupun tubuhnya sehat dan kuat.

Saudaraku, berkorban itu nikmat.
Ia telah melewati usia hidupnya dengan tekad jihad yang membaja, keberanian yang tinggi, dan kepasrahan total kepada Allah SWT. Hingga akhirnya ia berhasil mencapai prestasi hidup yang diidamkannya, mati syahid di jalan jihad. Gugur setelah mengisi relung-relung usianya, dengan pengorbanan yang tak pernah berhenti. Betapa indahnya akhir hidup seperti itu.

Saudaraku,
Dr. Yusuf Qaradhawi, dalam memorandumnya pernah menceritakan sebuah kisah yang sangat menyentuh saat ia ditahan di penjara perang Mesir. Seorang aktivis muslim bernama Hilmi Mukmin dipukuli secara membabi buta oleh cambuk dan tongkat. Ia dihukum keras karena menolak diperintahkan untuk memukul muka saudaranya, sesama aktivis. Ia lebih memilih disiksa oleh algojo penjara dan memelihara kehormatan saudaranya.

Ternyata, meski dihujani pukulan bertubi-tubi, Hilmi Mukmin tak mengeluarkan kata-kata apapun yang menunjukkan bahwa ia merasakan sakit. Sikap Hilmi Mukmin, benar-benar membuat algojo penjara putus asa hingga ia berhenti kelelahan memukulinya. Para algojo itu lalu memeluk Hilmi Mukmin untuk meminta maaf dan mengobati tubuhnya yang berlumuran darah dan penuh luka. Mereka mengira Hilmi Mukmin adalah seorang wali Allah dan mereka takut menerima pembalasan dari seorang wali Allah. "Semua mukmin yang bertakwa adalah wali di antara wali-wali Allah."

Bagaimana Saudara Hilmi Mukmin bukan seorang wali Allah? Bukankah dia telah merelakan balasan Allah dari apa yang ia lakukan untuk membela Saudara-saudaranya? "Ia telah ridha dengan All Quran sebagai prinsip dan manhaj hidupnya. Ia juga telah menjadikan Rasul sebagai pimpinannya, dan jihad sebagai jalannya. Dia telah teguh di atas prinsip itu dan bersabar atas apa yang ia terima di jalan Allah," begitu tulis Qaradhawi. "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa." (QS Yunus : 62)

Berkorban itu nikmat Saudaraku,
Namun tetaplah perhatikan kondisi dan suasana saat kita melakukan pengorbanan. Karena, "Bila di hatimu tak ada kelezatan yang bisa kamu dapatkan dari amal yang kamu lakukan, maka curigailah hatimu," ujar Ibnu Taimiyah (Madarijus Salikin, 2/68). Maksudnya, Allah pasti membalas amal seseorang di dunia dengan rasa nikmat, kecerahan dan ketenangan dalam hati. Tapi bila ada orang yang belum merasakan hal itu, berarti amalnya terkontaminasi.

Saudaraku,
Berkorbanlah di jalan ini. Berkorbanlah dengan mengabaikan keinginan syahwat dan mengutamakan keridhaan Allah. Bersabarlah dalam berkorban. Karena menurut para salafushalih, sesungguhnya kenikmatan pengorbanan itu ada pada seberapa besar kita bisa bertahan dan bersabar dalam melakukan pengorbanan dalam beramal shalih. Sedangkan pengorbanan tidak mungkin dilakukan tanpa kesabaran. Umar bin Khattab lah yang menyebutkan bahwa lezatnya kehidupan itu ada pada kesabaran. Dalam perkataannya, "Aku telah membuktikan bahwa kenikmatan hidup itu ternyata ada pada kesabaran kita dalam berkorban." .Wallahu’alam