Selasa, 10 Juni 2008
Belajar Bersyukur
Rabu, 02 April 2008
Memberi Dengan Tulus
[Defri Mardinsyah] - Seorang kawan yang cukup lama saya kenal, hari jumat yang lalu kembali melakukan ritual yang selalu dilakukan sejak saya mengenalnya sekitar 8 s/d 10 tahun yang lalu. Ritualnya itu adalah menghubungi saya untuk meminta bantuan. Kawan itu mau minta tolong untuk dibantu proses pembuatan kartu kredit, karena sang istri mau melahirkan anak ke 3.
Kalau ritual itu sedang berlangsung, sering tergiang-giang teguran dari teman lain yang memberikan gelar “bego” pada diri ini. Kalimatnya kurang lebih seperti ini :
“ Bego loe, dia kan Cuma manfaatin elo, apa yang dikatakannya kepada itu bo’ong semua, elo dapat apa sih dari dia, udah gak usah diladenin, cuekin aja “
Bukannya bermaksud menghitung-hitung, tapi hanya sebagai bahan untuk sharing, memang komentar itu benar adanya. Semua hubungan dengan kawan yang satu ini hanya memanfaatkan pertemanan sebagai sarana untuk mendapatkan keuntungan. Sedangkan disisi lain beliau ini memberikan informasi-informasi ataupun angin surga, yang pada dasarnya hanya tipuan belaka. Walaupun yang diminta bukan berupa materi. Tetapi perasaan merasa dimanfaatkan ini kadang cukup menyakitkan. Tetapi karena memang hati ini selalu mencoba memberi secara tulus dan ikhlas akhirnya perasaan itu pupus dengan sendirinya.
Tantangan lain adalah bahwa kondisi dimana apabila kita bekerja disebuah perusahaan, kemudian sebagai salah satu anggota tim, kita harus bekerja sama dengan anggota tim yang lain. Sering kali kita harus memberikan training gratis atau Supporting motivasi kepada rekan sejawat ataupun tim lainnya. Walaupun apa yang kita berikan tersebut bukanlah satu-satunya komponen keberhasilan mereka, tetapi apa yang kita berikan tersebut merupakan faktor yang dominan. Misalnya apa yang dialami diri ini, pelaku utama yang sangat bertanggung jawab atau peningkatan kemampuan dalam penggunaan Excel adalah Pak Fauzi, beliau juga yang mengajak untuk tandem menulis buku. Sang Guru ini yang menjadi faktor utama yang menunjang pekerjaan yang saya lakukan saat ini,( walaupun gaji dan jabatan belum naik-naik
kalau kita yang menjadi pihak yang memberi, kemudian setelah keberhasilan itu diperoleh, dalam bentuk kenaikan gaji ataupun pangkat, atau bahkan sang kawan ataupun anak buah kita itu bisa melebihi jabatan dan jumlah gaji yang kita terima, kalau hal itu masih kurang cukup, mungkin bisa ditambahkan bahwa si kawan itu menjadi orang yang bersikap mencari-cari kesalahan diri kita, dan kemudian dari laporan tersebut, kita mendapat teguran dari atasan. Kalau hal yang dianggap sebagai suatu kesalahan, adalah suatu kesalahan, berarti sang kawan berjasa untuk meningkatkan kemampuan dan ketelitian diri. Tetapi jika kesalahan itu hanya kesalah mengertian dari atasan terhadap kondisi yang sebenarnya, dan hanya karena kedekatan sang kawan dengan atasan sehingga si atasan lebih mendengarkan informasi dari kawan kita itu
bagaimana kita menghadapinya ?
Yang perlu diyakini adalah bahwa rezeki itu ada ditangan Yang Kuasa. Kalau kita memberi dengan tulus, yakinlah bahwa pemberian tersebut akan kembali kepada kita, walaupun tidak melalui orang yang kita beri.
Jadi kesimpulannya, marilah kita memberi dengan tulus.
Selasa, 18 Maret 2008
Sudahkah Kita Bersyukur Hari Ini?
Allah memilih hamba-Nya yang banyak bersyukur itu dan mengutusnya sebagai rasul bagi kaumnya. Nabi Nuh memang luar biasa. Dia pandai bersyukur dan memiliki kesabaran tingkat tinggi. Bisa dibayangkan, selama 950 tahun berdakwah, jumlah orang yang beriman sangat sedikit. Tapi the show must go on. Dia terus berdakwah pantang menyerah. Walaupun setelah melihat mempelajari kaumnya yang tidak mungkin beriman, dia berdoa mengadu kepada Allah. Akhirnya Allah memberikan jalan keluar menyelamatkan pengikutnya dari banjir besar.
Bersyukur dan juga bersabar memang memberikan dampak yang luar biasa bagi orang yang melakukannya. Bersyukur mudah diucapkan, namun ternyata juga sulit untuk dilakukan.
Mengapa sekarang banyak sekali orang bingung, stress, tidak bahagia? Salah satu jawabannya cukup sederhana. Karena kita tidak pandai bersyukur. Hidup di jaman sekarang ini, lebih-lebih di kota besar seperti Jakarta, berbagai masalah akan sangat mudah hinggap. Macet, polusi, banjir, harga barang-barang yang melambung sering menjadi kambing hitam sasaran bahwa mereka menjadi penyebab semua ini.
Kita seringkali merasa selalu kekurangan atas segala sesuatu. Kita sering mengeluh, kita biasa mengaduh. Dunia menjadi terlihat begitu kejam kepada kita. Padahal kalau dilihat, kita masih bisa makan yang enak, tidur yang nyenyak, bisa menghabiskan banyak pulsa apalagi marketing gimmick operator sangat menggoda memperlihatkan tarif murah, sering nonton film baik di bioskop maupun DVD, bisa ngeblog menghabiskan bandwidth, bisa kopdar di cafe-cafe mahal. Loh loh loh.. ini ngomong apa ya?
Ya yang jelas sih, sebenarnya keadaan kita itu tidak jelek-jelek amat. Masih sangat banyak orang yang keadaannya dibawah kita. Yang dibawah kita pun demikian, masih ada yang dibawahnya lagi, dibawahnya lagi, lagi, lagi, lagi dan lagi… Sebuah misteri karena kita tidak tahu bagaimana keadaan yang paling bawah itu.
Kalau tidak mau bersyukur dan akhirnya merasa menderita, mungkin kita hanya perlu bilang “Sokooorrr”. * gak fokus*. Karena itulah, kita pantas untuk bersyukur. Mari belajar untuk bersyukur atas apa yang telah diberikan Allah kepada kita
Sabtu, 16 Februari 2008
Bersyukur
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memberikan pernyataan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Ku-tambah nikmat-Ku kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim: 7).
Bagaimana bersyukur itu? … ada lagi pertanyaan nih. Syukur, sesuatu yang mudah untuk di katakan, mudah untuk dijelaskan … tetapi tidak mudah untuk dilakukan. Barangkali sebagian dari kita akan mengatakan, saya selalu mengatakan ‘Alhamdulillah’ kalau mendapatkan suatu kenikmatan, memang betul demikian adanya. Bagaimana pada saat kita mendapatkan sebaliknya, misalnya kehilangan dompet? Apakah kita bersyukur? Mestinya ya tetap bersyukur, karena yakinlah, selalu ada rahmat Allah dibalik peritiwa yang menurut kita buruk. Kalau kehilangan dompet, apa yang disyukuri. Kita besyukur, yang hilang hanya dompet, motor kita tidak ikut hilang.
Coba kita beralih sejenak, suatu falsafah Jawa mengenai istilah “Masih untung” ….. Masih untung yang hilang hanya dompet (maksudnya motor tidak ikut hilang), masih untung hanya luka2 karena ketabrak (maksudnya tidak sampai mati), sampai hal yang sangat ekstrim sekalipun …. Untung ‘si pulan’ meninggal (maksudnya kalau tetap hidup juga akan menderita) … dan sebagainya. Ternyata falsafah sederhana ini merupakan cara pandang yang sangat spiritual, pada saat mendapatkan musibah tetap merasa untung/bersyukur karena tidak mendapatkan musibah yang lebih buruk lagi.
Bagaimana cara bersyukur? Cara sederhana dapat dibedakan, yang kasat mata dengan cara mengucapkan ‘Hamdalah’, bersodaqoh, bernazar dsb. Dan yang tidak kasat mata tentunya bersyukur dengan hati.
Bagaimana bersyukur dengan hati, seperti yang diuraikan sebelumnya, pada saat mendapat musibah kita tetap besyukur karena tidak mendapat musibah yang lebih buruk. Barangkali ini yang disebut dengan bersyukur yang tidak kasat mata, bersyukur dengan hati.
Apa saja sih yang kita syukuri? … coba kita simak pertanyaan, apa saja sih nikmat Allah itu? Kita tidak akan mampu menghitung nikmat Allah, terjawab sudah pertanyaan mengenai, apa saja yang kita syukuri, tentunya banyak sekali, tidak akan mampu menghitungnya.
Syukurilah apa yang kita punya, syukurilah apa yang kita dapatkan. Mensyukuri apa yang kita punya walaupun hanya sedikit akan lebih baik daripada berlimpah tapi tidak bersyukur.
Mudah-mudahan Allah menjadikan kita sebagai insan yang pandai bersyukur. Amin.
Selasa, 11 Desember 2007
Berkorban Itu Nikmat
Kenapa, tetap memberi meski dalam kondisi sempit, berusaha menanamkan kebahagiaan untuk orang lain meski dalam kondisi sulit, memberi manfaat pada orang lain meski dalam keadaan memerlukan, selalu melahirkan kenikmatan dalam diri orang yang melakukannya?
Saudaraku,
Pernahkah kita merasakan bagaimana nikmatnya menyisihkan uang untuk berinfaq dan membahagiakan orang lain, dalam kondisi kita juga memerlukannya? Bagaimana indah dan damainya hati saat kita memeras tenaga, menguras pikiran, mengeluarkan apa yang kita punya, untuk kegiatan dakwah ilallah? Bagaimana sejuknya hati, dikala kita bisa memberi sesuatu yang berharga, yang kita miliki, untuk membahagiakan orang lain?
Memberi, secara lahir adalah mengeluarkan sesuatu untuk orang lain yang berarti juga mengurangi sesuatu yang kita miliki. Tapi secara maknawi, memberi sesuatu kepada orang lain itu sama dengan memunculkan ketenangan batin, kenikmatan dan kecerahan tersendiri bagi yang melakukannya. Kandungan makna inilah yang banyak dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para salafushalih. Anas ra pernah mengatakan bahwa Rasulullah adalah orang yang tidak pernah diminta sesuatu, kecuali ia pasti memberi.
Saudaraku,
Para salafushalih bahkan lebih menginginkan kesulitan dalam berkorban dan memberi untuk orang lain tidak terganggu dengan pemberian dan imbalan.
Imam Al Auzai menolak pemberian murid-muridnya yang ingin belajar hadits darinya. "Kalian boleh memilih. Jika kalian ingin hadiah ini aku terima, aku tidak akan mengajarkan hadits pada kalian. Jika kalian ingin belajar hadits dariku, maka hadiah ini tidak aku terima," katanya.
Ulama lainnya, Isa bin Yunis, mengeluarkan kata-kata yang lebih tegas lagi dalam hal yang sama. Ia mengatakan, "Tidak ada makanan dan minuman yang aku terima untuk menyampaikan hadits Rasulullah SAW. Meskipun kalian memenuhi masjid ini dengan emas seluruhnya." Itu dikatakan Isa bin Yunis kepada penguasa yang ingin memberinya hadiah.
Apa rahasia di balik penolakan itu? Mereka, pasti lebih ingin merasakan nikmatnya berkorban, indahnya memberi, kelezatan lelah dan sejuknya hati saat bersusah payah, dalam memberi manfaat banyak orang demi meraih keridhaan Allah SWT.
Berkorban itu nikmat saudaraku,
Seperti pengorbanan total yang telah ditunjukkan oleh Syaikhul Intifadhah, Syaikh Ahmad Yasin - semoga Allah SWT menempatkannya dalam jannah-Nya. Bagaimana dengan tubuhnya yang lumpuh, ia tetap memimpin pergerakan dakwah dan perlawanan untuk membebaskan Palestina dan melindungi kiblat pertama Masjidil Aqsha yang dirampas oleh Israel. Bagaimana dalam kondisi mata yang sulit melihat, tapi mata hati dan pikirannya tidak pernah terlepas dari memperhatikan langkah perjuangan umat Islam melawan penjajah Zionis Israel.
Bagaimana dalam kondisi yang renta, keluar masuk penjara, tapi semangatnya terus berkobar dengan keberanian yang sulit ditandingi. Ia terus menerus menyongsong bahaya kematian yang mengancamnya setiap detik. Bagaimana ia yang selalu berada di atas kursi roda, tapi tetap berangkat ke masjid di waktu fajar untuk menunaikan sholat subuh berjamaah. Dan beliau mendapatkan syahidnya dirudal oleh Israel sepulangnya dari sholat shubuh. Tidak semua orang bisa bangun sebelum fajar, dan tidak semua orang yang bangun sebelum fajar punya keinginan untuk sholat di masjid walaupun tubuhnya sehat dan kuat.
Saudaraku, berkorban itu nikmat.
Ia telah melewati usia hidupnya dengan tekad jihad yang membaja, keberanian yang tinggi, dan kepasrahan total kepada Allah SWT. Hingga akhirnya ia berhasil mencapai prestasi hidup yang diidamkannya, mati syahid di jalan jihad. Gugur setelah mengisi relung-relung usianya, dengan pengorbanan yang tak pernah berhenti. Betapa indahnya akhir hidup seperti itu.
Saudaraku,
Dr. Yusuf Qaradhawi, dalam memorandumnya pernah menceritakan sebuah kisah yang sangat menyentuh saat ia ditahan di penjara perang Mesir. Seorang aktivis muslim bernama Hilmi Mukmin dipukuli secara membabi buta oleh cambuk dan tongkat. Ia dihukum keras karena menolak diperintahkan untuk memukul muka saudaranya, sesama aktivis. Ia lebih memilih disiksa oleh algojo penjara dan memelihara kehormatan saudaranya.
Ternyata, meski dihujani pukulan bertubi-tubi, Hilmi Mukmin tak mengeluarkan kata-kata apapun yang menunjukkan bahwa ia merasakan sakit. Sikap Hilmi Mukmin, benar-benar membuat algojo penjara putus asa hingga ia berhenti kelelahan memukulinya. Para algojo itu lalu memeluk Hilmi Mukmin untuk meminta maaf dan mengobati tubuhnya yang berlumuran darah dan penuh luka. Mereka mengira Hilmi Mukmin adalah seorang wali Allah dan mereka takut menerima pembalasan dari seorang wali Allah. "Semua mukmin yang bertakwa adalah wali di antara wali-wali Allah."
Bagaimana Saudara Hilmi Mukmin bukan seorang wali Allah? Bukankah dia telah merelakan balasan Allah dari apa yang ia lakukan untuk membela Saudara-saudaranya? "Ia telah ridha dengan All Quran sebagai prinsip dan manhaj hidupnya. Ia juga telah menjadikan Rasul sebagai pimpinannya, dan jihad sebagai jalannya. Dia telah teguh di atas prinsip itu dan bersabar atas apa yang ia terima di jalan Allah," begitu tulis Qaradhawi. "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa." (QS Yunus : 62)
Berkorban itu nikmat Saudaraku,
Namun tetaplah perhatikan kondisi dan suasana saat kita melakukan pengorbanan. Karena, "Bila di hatimu tak ada kelezatan yang bisa kamu dapatkan dari amal yang kamu lakukan, maka curigailah hatimu," ujar Ibnu Taimiyah (Madarijus Salikin, 2/68). Maksudnya, Allah pasti membalas amal seseorang di dunia dengan rasa nikmat, kecerahan dan ketenangan dalam hati. Tapi bila ada orang yang belum merasakan hal itu, berarti amalnya terkontaminasi.
Saudaraku,
Berkorbanlah di jalan ini. Berkorbanlah dengan mengabaikan keinginan syahwat dan mengutamakan keridhaan Allah. Bersabarlah dalam berkorban. Karena menurut para salafushalih, sesungguhnya kenikmatan pengorbanan itu ada pada seberapa besar kita bisa bertahan dan bersabar dalam melakukan pengorbanan dalam beramal shalih. Sedangkan pengorbanan tidak mungkin dilakukan tanpa kesabaran. Umar bin Khattab lah yang menyebutkan bahwa lezatnya kehidupan itu ada pada kesabaran. Dalam perkataannya, "Aku telah membuktikan bahwa kenikmatan hidup itu ternyata ada pada kesabaran kita dalam berkorban." .Wallahu’alam
Jumat, 30 November 2007
Lebih pantas manakah yang masuk surga?, Ibu itu atau ……….?
[Blog Ziz Manis] - Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi
kebanyakan manusia tidak bersyukur. QS. Al Baqarah : 243
Menjelang Ramadhan tahun ini ada seorang sahabat menuturkan kisahnya. Dia bernama Budiman. Sore itu ia menemani istri dan seorang putrinya berbelanja kebutuhan rumah tangga bulanan di sebuah toko swalayan. Usai mereka membayar semua barang belanjaan. Tangan-tangan mereka sarat dengan tas plastik belanjaan. Baru saja mereka keluar dari toko swalayan, istri Budiman dihampiri seorang wanita pengemis yang saat itu bersama seorang putri kecilnya. Wanita pengemis itu berkata kepada istri Budiman, “Beri kami sedekah, Bu!” Istri Budiman kemudian membuka dompetnya lalu ia menyodorkan selembar uang kertas berjumlah 1000 rupiah. Wanita pengemis itu lalu menerimanya. Tatkala ia tahu jumlahnya dan ternyata itu tidak mencukup kebutuhannya, ia kemudian menguncupkan jari-jarinya dan ia arahkan kearah mulutnya, kemudian ia memegang kepala anaknya dan sekali lagi ia mengarahkan jari-jari yang terkuncup itu ke arah mulutnya. Seolah ia berkata dengan bahasa isyarat, “Aku dan anakku ini sudah berhari-hari tidak makan, tolong beri kami tambahan sedekah untuk bisa membeli makanan.” Mendapati isyarat pengemis wanita itu, istri Budiman pun membalas isyarat dengan gerak tangannya seolah berkata, “Tidak… tidak, aku tidak akan menambahkan sedekah untukmu!”.
Ironisnya meski ia tidak menambahkan sedekahnya malah istri dan putrinya Budiman menuju ke sebuah gerobak gorengan untuk membeli cemilan. Pada kesempatan yang sama Budiman berjalan ke arah ATM center guna mengecek saldo rekeningnya. Saat itu memang adalah tanggal dimana ia menerima gajian dari perusahaannya, karenanya Budiman ingin mengecek saldo rekeningnya. Ia sudah berada di depan ATM. Ia masukkan kartu ke dalam mesin tersebut. Ia tekan langsung tombol INFORMASI SALDO. Sesaat kemudian muncullah beberapa digit angka yang membuat Budiman menyunggingkan
senyum kecil dari mulutnya. Ya, uang gajiannya sudah masuk ke dalam rekening. Budiman menarik sejumlah uang dalam bilangan jutaan rupiah dari ATM. Pecahan ratusan ribu berwarna merah kini sudah menyesaki dompetnya. Lalu ada satu lembar uang berwarna merah juga, namun kali ini bernilai 10 ribu yang ia tarik dari dompet. Kemudian uang itu ia lipat menjadi kecil dan ia berniat untuk berbagi dengan wanita pengemis yang tadi meminta tambahan sedekah. Budiman memberikan uang itu. Lalu saat sang wanita melihat nilai uang yang ia terima betapa girangnya dia. Ia berucap syukur kepada Allah dan berterima kasih kepada Budiman dengan kalimat-kalimat penuh kesungguhan: “Alhamdulillah. .. Alhamdulillah. .. Alhamdulillah. .. Terima kasih tuan! Semoga Allah memberikan rezeki berlipat untuk tuan dan keluarga. Semoga Allah memberi kebahagiaan lahir dan batin untuk tuan dan keluarga. Diberikan karunia keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Rumah tangga harmonis dan anak-anak yang shaleh dan shalehah. Semoga tuan dan keluarga juga diberi kedudukan yang terhormat kelak nanti di surga…!”
Budiman tidak menyangka ia akan mendengar respon yang begitu mengharukan. Budiman mengira bahwa pengemis tadi hanya akan berucap terima kasih saja. Namun, apa yang diucapkan oleh wanita pengemis tadi sungguh membuat Budiman terpukau dan membisu. Apalagi tatkala sekali lagi ia dengar wanita itu berkata kepada putri kecilnya, “Dik, Alhamdulillah akhirnya kita bisa makan juga….!” Deggg…!!! Hati Budiman tergedor dengan begitu kencang. Rupanya wanita tadi sungguh berharap tambahan sedekah agar ia dan putrinya bisa makan. Sejurus kemudian mata Budiman membuntuti kepergian mereka berdua yang berlari menyeberang jalan, lalu masuk ke sebuah warung tegal untuk makan di sana.
Budiman masih terdiam dan terpana di tempat itu. Hingga istri dan putrinya kembali lagi dan keduanya menyapa Budiman. Mata Budiman kini mulai berkaca-kaca dan istrinya pun mengetahui itu. “Ada apa Pak?” Istrinya bertanya. Dengan suara yang agak berat dan terbata Budiman menjelaskan: “Aku baru saja menambahkan sedekah kepada wanita tadi sebanyak 10 ribu rupiah!” Awalnya istri Budiman hampir tidak setuju tatkala Budiman menyatakan bahwa ia memberi tambahan sedekah kepada wanita pengemis, namun Budiman melanjutkan kalimatnya: “Bu…, aku memberi sedekah kepadanya sebanyak itu. Saat menerimanya, ia berucap hamdalah berkali-kali seraya bersyukur kepada Allah. Tidak itu saja, ia mendoakan aku, mendoakan dirimu, anak-anak dan keluarga kita. Panjaaaang sekali ia berdoa! Dia hanya menerima karunia dari Allah Swt sebesar 10 ribu saja sudah sedemikian hebatnya bersyukur. Padahal aku sebelumnya melihat di ATM saat aku mengecek saldo dan ternyata di sana ada jumlah yang mungkin ratusan bahkan ribuan kali lipat dari 10 ribu rupiah. Saat melihat saldo itu, aku hanya mengangguk-angguk dan tersenyum. Aku terlupa bersyukur, dan aku lupa berucap hamdalah. Bu…, aku malu kepada Allah! Dia terima hanya 10 ribu begitu bersyukurnya dia kepada Allah dan berterimakasih kepadaku. Kalau memang demikian, siapakah yang pantas masuk ke dalam surga Allah, apakah dia yang menerima 10 ribu dengan syukur yang luar biasa, ataukah aku yang menerima jumlah lebih banyak dari itu namun sedikitpun aku tak berucap hamdalah.”
Budiman mengakhiri kalimatnya dengan suara yang terbata-bata dan beberapa bulir air mata yang menetes. Istrinya pun menjadi lemas setelah menyadari betapa selama ini kurang bersyukur sebagai hamba. Ya Allah, ampunilah kami para hamba-Mu yang suka lalai atas segala nikmat-Mu!
Jumat, 19 Oktober 2007
Sedekah Orang Fakir
Membeli dunia dengan harta, tentu sudah sewajarnya. Sebab, dengan kekayaannya ia bisa menikmati apa saja. Bahkan Rasulullah sendiri pernah bersabda, “Bersegeralah dalam bersedekah, karena sedekah itu tidak dilewati oleh bencana” (HR Ath-Thabrani). Bayangkan, sudah leluasa menikmati kemewahan dunia, orang kaya pun masih terlepas pula dari bencana, asalkan ia rajin membagi sebagian hartanya kepada orang papa. Tapi, orang kaya dikatakan dapat pula membeli akhirat dengan harta, apa iya? Jawabnya adalah sabda Muhammad SAW berikut ini: Berbuat baiklah kepada orang-orang fakir, karena mereka akan memiliki kekuasaan pada Hari Kiamat (HR Abu Nu’aym).
Berbuat baik kepada orang fakir, orang-orang yang sangat miskin, apalagi kalau bukan dengan menyantuni hidup mereka yang kekurangan. Nah, untuk hal ini tentu saja orang kaya bisa dengan leluasa memberikan sebagian dari limpahan hartanya. Apalagi jika pemberian itu dilakukan dengan tanpa banyak bicara, tanpa publikasi melalui media massa, maka Tuhan akan melipatkangandakan pahalanya. Bayangkan, Rasulullah SAW sampai menyatakan, “Sedekah secara sembunyi-sembunyi dapat meredam murka Tuhan” (HR Ath-Thabrani).
Masalahnya, bagaimana halnya dengan orang-orang tak berpunya? Dapatkah ia membeli dunia sekaligus membeli akhirat dengan kemiskinannya? Ternyata orang tak berpunya pun dapat dengan gampang membeli keduanya. Orang miskin ternyata dapat pula membeli dunia sekaligus akhirat.
Tak percaya? Untuk membeli dunia ternyata tak mesti dengan tumpukan harta. Rasulullah bersabda, “… Berpuas-hatilah atas apa yang diberikan Allah kepadamu, niscaya kamu menjadi orang yang paling kaya” (HR Tirmidzi).
Lalu, bagaimana pula caranya orang tak berpunya membeli akhirat lewat sedekah sebagaimana yang dilakukan orang kaya? Bukankah kemiskinan tak memungkinkan bagi orang papa untuk berbagi dengan sesama?
Ternyata Tuhan memang Maha Bijaksana. Simaklah sabda Baginda Nabi berikut ini: Berzikir itu lebih utama dibandingkan bersedekah (HR Abu Asy-Syaikh). Bahkan, sebagaimana orang kaya dapat menolak bencana melalui sedekah atas hartanya, maka orang miskin pun dapat pula melakukan hal serupa. Rasulullah menegaskan, “…Tolaklah oleh kalian bencana dengan doa” (HR Ath-Thabrani).***